Yuk Berkenalan Dengan Ustadzah Irena Handono
Namaku
Irena Handono Handono. Aku dibesarkan dalam keluarga yang rilegius. Ayah dan ibuku merupakan pemeluk Kathol
ik
yang taat. Sejak bayi aku sudah dibaptis, dan sekolah seperti anak-anak
lain. Aku juga mengikuti kursus agama secara privat. Ketika remaja aku
aktif di Organisasi gereja.
Sejak masa kanak-kanak, aku sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi
orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia, karena
pengabdian total seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan. Semakin aku besar,
keinginan itu sedemikian kuatnya, sehingga menjadi biarawati adalah
tujuan satu-satunya dalam hidupku.
Kehidupanku nyaris sempurna,
aku terlahir dari keluarga yang kaya raya, kalau diukur dari materi.
Rumahku luasnya 1000 meter persegi. Bayangkan, betapa besarnya. Kami
berasal dari etnis Tionghoa. Ayaku adalah seorang pengusaha terkenal di
Surabaya, beliau merupakan salah satu donator terbesar gereja di
Indonesia. Aku anak kelima dan perempuan satu-satunya dari lima
bersaudara.
Aku amat bersyukur karena dianugrahi banyak
kelebihan. Selain materi, kecerdasanku cukup lumayan. Prestasi
akademikku selalu memuaskan. Aku pernah terpilih sebagai ketua termuda
pada salah satu organisasi gereja. Ketika remaja aku layaknya remaja
pada umumnya, punya banyak teman, aku dicintai oleh mereka, bahkan aku
menjadi faforit bagi kawan-kawanku.
Intinya, masa mudaku
kuhabiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah. Namun demikian aku
tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi, walalupun semua
fasilitas untuk hura-hura bahkan foya-foya ada. Keinginan untuk menjadi
biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus SMU, aku memutuskan untuk
mengikuti panggilan Tuhan itu.
Tentu saja orang tuaku terkejut.
Berat bagi mereka untuk membiarkan anak gadisnya hidup terpisah dengan
mereka. Sebagai pemeluk Katholik yang taat, mereka akhirnya
mengikhlaskannya. Sebaliknya dengan kakak-kakaku, mereka justru bangga
punya adik yang masuk biarawati.
Tidak ada kesulitan ketika aku
melangkah ke biara, justru kemudahan yang kurasakan. Dari banyak
biarawati, hanya ada dua orang biara yang diberi tugas ganda. Yaitu
kuliah di biara dan kuliah di Instituit Filsafat Teologia, seperti
seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Salah satu dari
biarawati yang diberi keistimewaan itu adalah saya.
Dalam usia 19
tahun Aku harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yaknip endidikan di
biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas Comparative
Religion, Jurusan Islamologi.
Di tempat inilah untuk pertama
kali aku mengenal Islam. Di awal kuliah, dosen memberi pengantar bahwa
agama yang terbaik adalah agama kami sedangkan agama lain itu tidak
baik. Beliau mengatakan, Islam itu jelek. Di Indonesia yang melarat itu
siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di bantaran
sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap hari jumat siapa? Yang
berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa? Yang jadi teroris siapa?
Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu jelek.
Aku mengatakan
kesimpulan itu perlu diuji, kita lihat negara-negara lain, Philiphina,
Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara yang mayoritas kristiani itu tak
kalah amburadulnya. Aku juga mencontohkan negara-negara penjajah
seperti terbentuknya negara Amerika dan Australia, sampai terbentuknya
negara Yahudi Israel itu, mereka dari dulu tidak punya wilayah, lalu
merampok negara Palestina.
Jadi tidak terbukti kalau Islam itu
symbol keburukan. Aku jadi tertarik mempelajari masalah ini. Solusinya,
aku minta ijin kepada pastur untuk mempelajari Islam dari sumbernya
sendiri, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Usulan itu diterima, tapi dengan
catatan, aku harus mencari kelemahan Islam.
Ketika pertama kali
memegang kitab suci al-Qur'an, aku bingung. Kitab ini, mana yang depan,
mana yang
belakang, mana atas mana bawah. Kemudian aku amati bentuk
hurufnya, aku semakin bingung. Bentuknya panjang-panjang, bulat-bulat,
akhirnya aku ambil jalan pintas, aku harus mempelajari dari terjemah.
Ketika aku pelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa
membaca al-Quran dimulai dari kiri, aku justru terbalik dengan
membukanya dari kanan. Yang pertama kali aku pandang, adalah surat Al
Ihlas.
Aku membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara
hatiku membenarkan bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak
beranak, tidak diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia.
"Ini 'kok bagus, dan bisa diterima!" pujiku lagi.
Pagi harinya,
saat kuliah Teologia, dosen saya mengatakan, bahwa Tuhan itu satu tapi
pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus.
Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan
trinitas, atau tritunggal. Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk
mengaji lagi surat al-Ihklas. "Allahhu ahad, ini yang benar," putusku
pada akhirnya.
Maka hari berikutnya terjadi dialog antara saya
dan dosen-dosen saya. Aku katakan, "Pastur (Pastur), saya belum paham
hakekat Tuhan."
"Yang mana yang Anda belum paham?" tanya Pastur. Dia
maju ke papan tulis sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku
dijelaskan, segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi
pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengana Tuhan Putra sama
dengan kuasanya Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan.
"Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek
semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu
untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi,"
tanyaku lebih mendalam.
Dosen menjawab, "Tidak bisa!" Aku jawab
bisa saja, kemudian aku maju ke papan tulis. Saya gambar bujur sangkar.
Kalau dosen saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama
sisi, sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bisa saja
saya simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat. Pastur bilang, tidak
boleh. Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.
"Ini
dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!" tegas
Pastur. Aku katakan, kalau aku belum paham dengan dogma itu bagaimana?
"Ya terima saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!" tegas
Pastur mengakhiri.
Walau pun dijawab demikian, malam hari ada
kekuatan yang mendorong saya untuk kembali mempelajari surat al-Ikhlas.
Ini terus berkelanjutan, sampai akhirnya aku bertanya kepada Pastur,
"Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?" Dia tidak mau jawab.
"Coba Anda jawab!" Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu semua yang buat tukang kayu.
"Lalu kenapa?" tanya Pastur lagi. "Menurut saya, semua barang itu
walaupun dibuat setahun lalu, sampai seratus tahun kemudian tetap kayu,
tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang membuat mereka berubah
jadi tukang kayu," saya mencoba menjelaskan.
"Apa maksud Anda?"
Tanya Pastur penasaran. Aku kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan
alam semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia yang
diciptakan seratus tahun lalu sampai seratus tahun kemudian, sampai
kiamat tetap saja manusia, manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi
Tuhan, dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.
Malamnya, kembali kukaji surat al-Ikhlas. Hari berikutnya, aku bertanya
kepada Pastur, "Siapa yang melantik RW?" Saya ditertawakan. Mereka
pikir, ini 'kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?
"Sebetulnya saya tahu," ucapku. "Kalau Anda tahu, mengapa Anda Tanya?
Coba jelaskan!" tantang mereka. "Menurut saya, yang melantik RW itu
pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW
dilantik RT jelas pelantikan itu tidak syah." "Apa maksud Anda?" Mereka
semakin tak mengerti.
Saya mencoba menguraikan, "Menurut
pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya
termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau
ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas
pelantikan itu tidak syah."
Malam berikutnya, saya kembali
mengkaji surat al-Ikhlas. Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya
saya bertanya mengenai sejarah gereja.
Menurut semua literratur
yang saya pelajari, dan kuliah yang saya terima, Yesus untuk pertama
kali disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi Tuhan pada tahun
325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan yang
melantiknya sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.
Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar)
di kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka
silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu
ayat saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada
satu kalimat Yesus yang mengatakan 'Aku Tuhanmu'? Tidak pernah ada.
Mereka kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis.
Dan sampai pada pertemuan berikutnya, dalam al-Quran yang saya pelajari,
ternyata saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur'an. Bahkan, saya
yakin tidak ada manusia yang mampu.
Kebiasaan mengkaji al-Qur'an
tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan bahwa agama yang hak itu
cuma satu, Islam. Subhanaallah.
Saya mengambil keputusan besar,
keluar dari biara. Itu melalui proses berbagai pertimbangan dan
perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, saya
sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari al-Qur'an surat
Maryam. Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi tempat yang
sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui perantaranya.
Anehnya, tidak ada Injil Maryam.
Jadi saya keluar dengan keyakinan
bahwa Islam agama Allah. Tapi masih panjang, tidak hari itu saya
bersyahadat. Enam tahun kemudian aku baru mengucapkan dua kalimah
syahadat.
Selama enam tahun, saya bergelut untuk mencari. Saya
diterpa dengan berbagai macam persoalan, baik yang sedih, senang, suka
dan duka. Sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga saya. Reaksi
dari orang tua tentu bingung bercampur sedih.
Sekeluarnya dari
biara, aku melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya. Kemudian aku
menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah, aku
tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Aku berpikir, kalau sudah
menikah, ya selesai!
Ternyata diskusi itu tetap berjalan, apalagi
suamiku adalah aktifis mahasiswa. Begitu pun dengan diriku, kami kerap
kali berdiskusi. Setiap kali kami diskusi, selalu berakhir dengan
pertengkaran, karena kalau aku mulai bicara tentang Islam, dia
menyudutkan. Padahal, aku tidak suka sesuatu dihujat tanpa alasan.
Ketika dia menyudutkan, aku akan membelanya, maka jurang pemisah itu
semakin membesar, sampai pada klimaksnya.
Aku berkesimpulan
kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut, dan tidak
mungkin bertahan lama. Aku mulai belajar melalui ustadz. Aku mulai
mencari ustadz, karena sebelumnya aku hanya belajar Islam dari buku
semua. Alhamdulillah Allah mempertemuka saya dengan ustadz yang bagus,
diantaranya adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur
periode yang lalu.
Aku beberapa kali berkonsultasi dan
mengemukakan niat untuk masuk Islam. Tiga kali ia menjawab dengan
jawaban yang sama, "Masuk Islam itu gampang, tapi apakah Anda sudah siap
dengan konsekwensinya?"
"Siap!" jawabku. "Apakah Anda tahu
konsekwensinya?" tanya beliau. "Pernikahan saya!" tegasku. Aku menyadari
keinginanku masuk Islam semakin kuat. "Kenapa dengan dengan perkawinan
Anda, mana yang Anda pilih?" Tanya beliau lagi. "Islam" jawabku tegas.
Akhirnya rahmat Allah datang kepadaku. Aku kemudian mengucapkan dua
kalimat syahadat di depan beliau. Waktu itu tahun 1983, usiaku 26 tahun.
Setelah resmi memeluk Islam, aku mengurus perceraianku, karena suamiku
tetap pada agamanya. Pernikahanku telah berlangsung selama lima tahun,
dan telah dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki.
Alhamdulillah, saat mereka telah menjadi muslim dan muslimah.
Setelah aku mengucapkan syahadat, aku tahu persis posisiku sebagai
seorang muslimah harus bagaimana. Satu hari sebelum ramadhan tahun
dimana aku berikrar, aku langsung melaksanakan shalat.
Pada saat
itulah, salah seorang kakak mencari saya. Rumah cukup besar. Banyak
kamar terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian
membuka kamarku. Ia terkejut, 'kok ada perempuan shalat? Ia piker ada
orang lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.
Hari berikutnya, kakakku yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan
bahwa yang sedang shalat itu aku. Selesai shalat, aku tidak mau lagi
menyembunyikan agama baruku yang selama ini kututupi. Kakakku terkejut
luar biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia
tidak bisa bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat
itulah terjadi keretakan diantara kami.
Agama baruku yang kupilih
tak dapat diterima. Akhirnya aku meninggalkan rumah. Aku mengontrak
sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak perempuan
satu-satunya, tentu ibuku tak mau kehilangan. Beliau tetap datang
menjenguk sesekali. Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia. Setelah ibu
saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau anggota keluarga
yang lain sampai sekarang.
Aku bukannya tak mau berdakwah kepada
keluargaku, khususnya ibuku. Walaupun ibu tidak senang,
ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam, baginya identik
dengan hal-hal negatif yang saya contohkan di atas. Pendapat ibu sudah
terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.
Tahun 1992 aku menunaikan
rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah aku diberikan rejeki sehingga
bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk Islam sampai pergi haji, aku
selalu menggerutu kepada Allah, "kalau Engkau, ya Allah, menakdirkanku
menjadi seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak menakdirkan saya
menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama
seperti saudara-saudaraku muslim yang kebanyakan itu. Dengan begitu,
saya tidak perlu banyak penderitan. Mengapa jalan hidup saya harus
berliku-liku seperti ini?" ungkapku sedikit kesal.
Di
Masjidil-Haram, aku bersungkur mohon ampun, dilanjutkan dengan sujud
syukur. Alhamdulillah aku mendapat petunjuk dengan perjalan hidupku
seperti ini. Aku merasakan nikmat iman dan nikmat Islam. Padahal, orang
Islam yang sudah Islam tujuh turunan belum tentu mengerti nikmat iman
dan Islam.
Islam adalah agama hidayah, agama hak. Islam agama
yang sesuai dengan fitrah manusia. Manusia itu oleh Allah diberi akal,
budi, diberi emosi, rasio. Agama Islam adalh agama untuk orang yang
berakal, semakin dalam daya analisis kita, insya Allah, Allah akan
memberi. Firman Allah, "Apakah sama orang yang tahu dan tidak tahu?"
Sepulang haji, hatiku semakin terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya
pula aku kemudian diberi kemudahan dalam belajar agama tauhid ini.
Alhamdulillah tidak banyak kesulitan bagiku untuk belajar membaca
kitab-kitab.
Allah memberi kekuatan kepadaku untuk bicara dan
berdakwah. Aku begitu lancar dan banyak diundang untuk berceramah. Tak
hanya di Surabaya, aku kerap kali iundang berdakwah di Jakarta. Begitu
banyak yang Allah karuniakan kepadaku, termasuk jodoh, melalui pertemuan
yang Islami, aku dilamar seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi,
duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua
sama-sama aktif berdakwah sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang
dakwah tantangannya luar biasa. Alhamdulillah, dalam diri ini terus
menekankan bahwa hidupku, matiku hanya karena Allah.